Prof. Rhenald Kasali, Ph.D Sumber: wikipedia |
Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,bagus sekali. Padahal beliau gres saja tiba di Amerika dan gres mulai mencar ilmu bahasa. Karangan yang beliau tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya goresan pena itu buruk, logikanya sangat sederhana.
Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai beliau menyerah.Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang mendapatkan saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab saya.Dia pun tersenyum.
Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah ketika yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat. “Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anakanaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai.Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang semoga maju. Encouragement!” Dia pun melanjutkan argumentasinya.
“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbedabeda. Namun untuk anak sebesar itu, gres tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya sanggup menjamin, ini yaitu karya yang hebat,” ungkapnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya menerima pelajaran berharga. Kita tidak sanggup mengukur prestasi orang lain berdasarkan ukuran kita.Saya teringat betapa mudahnya saya menuntaskan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari aktivitas master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus menuntaskan studi jungkir balik ditengarai bahaya drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian aktivitas doktor saya pun sanggup melewatinya dengan mudah.
Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu menawarkan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka memperlihatkan grafikgrafik yang saya buat dan mengambarkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji, menanyakan tentang masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan. Pada ketika kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di kursi ujian.
Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan membuatkan informasi tidak sedap seakanakan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, berdasarkan ekonomis saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melaksanakan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.
Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah bawah umur di sana bisa menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan peserta Hadiah Nobel. Bukan alasannya mereka punya guru yang cerdik secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: huruf yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas bawah umur kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ungkapnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor bawah umur di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.
Anak-anak Indonesia yang gres tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, ibarat berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, beliau mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah memperlihatkan kemajuan yang berarti.” Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi evaluasi yang tidak objektif. Dia pernah protes ketika mendapatkan nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya menyampaikan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.
Melahirkan Kehebatan
Bisakah kita mencetak orang-orang jago dengan cara membuat kendala dan rasa takut? Bukan tidak tidak mungkin kita yaitu generasi yang dibuat oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin kerikil akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja goresan pena berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.
Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak beliau juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan gres dalam ilmu otak ternyata memperlihatkan otak insan tidak statis, melainkan sanggup mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, sanggup tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari bahaya atau proteksi (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan insan sanggup tumbuh, sebaliknya sanggup menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang cerdik dan ada orang yang kurang cerdik atau bodoh.
Tetapi juga ada orang yang tambah cerdik dan ada orang yang tambah bodoh. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan bahaya atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi bahaya yang menakut-nakuti.(*)
RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI
=====================================================
Tulisan ini sanggup ditemukan di sini Atau temukan profil sang Prof. Rhenald Kasali, Ph.D di Blog Pribadinya
0 Response to "Belajar Mendidik Dari Prof. Rhenald Kasali, Ph.D"