Paradigma Pendidikan Masa Depan
PENDAHULUAN
Selama tiga dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 53.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545 telah meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud, 1999). Makara dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Sudah barang tentu perkembangan pendidikan tersebut patut disyukuri. Namun sayangnya, perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Akibatnya, muncul banyak sekali ketimpangan pendidikan di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang sangat menonjol adalah: a) ketimpangan antara kualitas outputpendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan, b) ketimpangan kualitas pendidikan antar desa dan kota, antar Jawa dan luar Jawa, antar pendudukkaya dan penduduk miskin. Di samping itu, di dunia pendidikan juga muncul dua problem yang lain yang tidak sanggup dipisah dari problem pendidikan yang telah disebutkan di atas.
Pertama, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan hanya mentransfer kepada akseptor didik apa yang disebut the dead knowledge, yakni pengetahuan yang terlalu bersifat text-bookish sehingga bagaikan sudah diceraikan baik dari akar sumbernya maupun aplikasinya.
Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi sejauh ini belum menampakkan hasilnya. Mengapa kebijakan pembaharuan pendidikan di tanah air kita sanggup dikatakan senantiasa gagal menjawab problem masyarakat? Sesungguhnya kegagalan banyak sekali bentuk pembaharuan pendidikan di tanah air kita bukan semata-mata terletak pada bentuk pembaharuan pendidikannya sendiri yang bersifat erratic, tambal sulam, melainkan lebih fundamental lagi kegagalan tersebut dikarenakan ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada klarifikasi paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan ini menimbulkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan.
Peranan Pendidikan: Mitos atau Realitas?
Pembangunan merupakan proses yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk aspek sosial, ekonomi, politik dan kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara keseluruhan. Dalam proses pembangunan tersebut peranan pendidikan amatlah strategis.
John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi kiprah pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua kiprah yang lain merupakan fungsi ekonomi.
Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan kebijakan pendidikan: Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan dikarenakan masyarakat tidak mempunyai cukup penduduk yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan perilaku modern. Menurut pengalaman masyarakat di Barat, forum pendidikan formal sistem persekolahan merupakan forum utama membuatkan pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan perilaku modern para individu yang diharapkan dalam proses pembangunan. Bukti-bukti memperlihatkan adanya kaitan yang dekat antara pendidikan formal seseorang dan partisipasinya dalam pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul, tesis Human lnvestmen, yang menyatakan bahwa investasi dalam diri insan lebih menguntungkan, memiliki economic rate of return yang lebih tinggi dibandingkan dengan investasi dalam bidang fisik.
Sejalan dengan paradigma Fungsional, paradigma Sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah: a) membuatkan kompetensi individu, b) kompetensi yang lebih tinggi tersebut diharapkan untuk meningkatkan produktivitas, dan c) secara urnum, meningkatkan kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang mempunyai kemampuan akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh lantaran itu, menurut paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh, kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.
Paradigma Fungsional dan paradigma Sosialisasi telah melahirkan efek besar dalam dunia pendidikan paling tidak dalam dua hal. Pertama, telah melahirkan paradigma pendidikan yang bersifat analis-mekanistis dengan mendasarkan pada keyakinan reduksionisme dan mekanistik. Reduksionisme melihat pendidikan sebagai barang yang sanggup dipecah-pecah dan dipisah-pisah satu dengan yang lain. Meka Fns melihat bahwa pecahan-pecahan atau bagian-bagian tersebut mempunyai keterkaitan linier fungsional, satu potongan memilih potongan yang lain secara langsung. Akibatnya, pendidikan telah direduksi sedemikian rupa ke dalam serpihan-serpihan kecil yang satu dengan yang lain menjadi terpisah tiada hubungan, seperti, kurikulum, kredit SKS, pokok bahasan, jadwal pengayaan, seragam, pekerjaan rumah dan latihan-latihan. Suatu sistem evaluasi telah dikembangkan untuk menyesuaikan dengan serpihan-serpihan tersebut: nilai, indeks prestasi, ranking, rata-rata nilai, kepatuhan, ijazah.
Paradigma pendidikan lnput-Proses-Output, telah menjadikan sekolah bagaikan proses produksi. Murid diperlakukan bagaikan raw-inputdalam suatu pabrik. Guru, kurikulum, dan kemudahan diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, maka akan menghasilkan proses yang baik dan karenanya baik pula produkyang dihasilkan. Kelemahan paradigma pendidikan tersebut nampak jelas, yakni dunia pendidikan diperlakukan sebagai sistem yang bersifat mekanik yang perbaikannya bisa bersifat partial, potongan mana yang dianggap tidak baik. Sudah barang tentu perkiraan tersebut jauh dari realitas dan salah. Implikasinya, sistem dan praktek pendidikan yang mendasarkan pada paradigma pendidikan yang keliru cenderung tidak akan sesuai dengan realitas. Paradigma pendidikan tersebut di atas tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik yang merupakan potongan dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas.
Kedua, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, penggagas dan loko pembangunan. Sebagai penggagas pembangunan maka pendidikan harus bisa menghasilkan invention dan innovation, yang merupakan inti kekuatan pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, maka pendidikan harus diorganisir dalam suatu forum pendidikan formal sistem persekolahan, yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Bahkan pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia yang lain, khususnya, dan bukan sebaliknya perkembangan ekonomi memilih perkembangan pendidikan. Dalam forum pendidikan formal inilah banyak sekali pandangan gres dan gagasan akan dikaji, banyak sekali teori akan dluji, banyak sekali teknik dan metode akan dikembangkan, dan tenaga kerja dengan banyak sekali jenis kemampuan akan dilatih.
Sesuai dengan kiprah pendidikan sebagai engine of growth, dan penentu bagi perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang paling tepat adalah single track dan diorganisir secara terpusat sehingga gampang diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Lewat jalur tunggal inilah forum pendidikan akan bisa menghasilkan banyak sekali tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan etektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, administrasi (bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggagas dan loko pembangunan, bahkan Gass (1984) lewat tulisannya berjudul Education versus Qualifications menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya banyak sekali kesenjangan: kultural, sosial, dan khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga mustahil disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat tambal sulam (Erratic).Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang fundamental dan menyeluruh harus dimulai dari mencari klarifikasi gres atas paradigma kiprah pendidikan dalam pembangunan.
Penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diikuti oleh para penentu kebijakan kita sampaumur ini mempunyai kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Pertama, tidak sanggup diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang secara gampang sanggup dikatakan bahwa pendidikan formal akan membuatkan kemampuan yang diharapkan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang semakin kompleks. Tetapi, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari forum pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Di samping itu, adanya perubahan di bidang teknologi yang cepat, justru melahirkan apa yang disebut dengan de-skilled process, yakni dunia industri memerlukan tenaga kerja dengan keahlian yang lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
Kedua, paradigma fungsional dan sosialisasi mempunyai perkiraan bahwa pendidikan sebagai penyebab dan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat. Investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan memilih pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tetapi realitas memperlihatkan sebaliknya. Bukannya pendidikan muncul terlebih dahulu, kemudian akan muncul pembangunan ekonomi, melainkan bisa sebaliknya, tuntutan perluasan pendidikan terjadi sebagai akhir adanya pembangunan ekonomi dan politik. Dengan kata lain, pendidikan sistem persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkemkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Sebagai bukti, lantaran hasil pembangunan ekonomi tidak bisa dibagi secara merata, maka konsekuensinya kesempatan untuk mendapat pendidikan tidak juga bisa sama di antara banyak sekali kelompok masyarakat, sebagaimana terjadi sampaumur ini.
Ketiga, paradigma fungsional dan sosialisasi juga mempunyai perkiraan bahwa pendapatan individu mencerminkan produktivitas yang bersangkutan. Secara makro upah tenaga kerja dekat kaitannya dengan produktivitas. Dalam realitas perkiraan ini tidak pernah terbukti. Upah dan produktivitas tidak selalu sering. Implikasinya yaitu bahwa kesimpulan kajian selama ini yang selalu memperlihatkan bahwa economic rate of return dan pendidikan di negara kita yaitu sangat tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan investasi di bidang lain, yaitu tidak tepat, sehingga perlu dikaji kembali.
Keempat, paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan mempunyai kiprah membuatkan kompetensi individual, tetapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan sanggup meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas. Secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual yang diharapkan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Semakin lama waktu bersekolah semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun, Randal Collins, lewat karyanya The Credential Society: An Historicaf Sosiology of Education and Stratification (1979) menentang tesis ini. Berbagai bukti tidak mendukung tesis atas tuntutan pendidikan untuk memegang suatu pekerjaan-pekerjaan tersebut. Pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja .yang mempunyai pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru sanggup banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, daerah bekerja bisa berfungsi sebagai forum pendidikan yang lebih canggih.
Paradigma Baru: Pendidikan Sistemik-Organik
Pembaharuan pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.
Paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini, pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engineof growth, sebab kemampuan dan keberhasilan forum pendidikan formal sangat terkait dan banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa forum pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja yang diharapkan oleh dunia kerja, alasannya yaitu kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan kualifikasi yang diharapkan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan ekonomi dan masyarakat.
Paradigma kiprah pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan keyakinan yang menekankan bahwa segala obyek, insiden dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu potongan hanya akan mempunyai makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, alasannya yaitu keutuhan bukan sekedar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem terbuka, lantaran balasan suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan memperlakukan akseptor didik sebagai individu yang mempunyai karakteristik khusus dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini mempunyai arti bahwa prestasi akseptor didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracksmenekankan bahwa untuk membuatkan pengetahuan umum dan spesifik harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara daerah kerja, training dan pendidikan formal sistem persekolahan.
Dengan double tracks ini sistem pendidikan akan bisa menghasilkan lulusan yang mempunyai kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
Berbagai problem yang muncul di masyarakat, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang fundamental dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan. Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai potongan dari masyarakatnya. Oleh lantaran itu, proses pendidikan harus mempunyai keterkaitan dan kesepadanan secara fundamental serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.
Buku ini terdiri atas tiga bab. Bab I membahas pendidikan dari perspektif teori, dimulai dari pembahasan sistem pendidikan di dua negara: Jepang dan Amerika Serikat. Meskipun pendidikan Jepang pada awalnya merupakan "pinjaman" dari Amerika Serikat, tetapi pada bentuk final yang digunakan hingga dikala ini ternyata berbeda. Perbandingan dua sistem pendidikan ini mewakili dua kutub: Pendidikan modern yang diwakili oleh pendidikan Amerika Serikat dan pendidikan yang konservatif yang diwakili oleh sistem pendidikan Jepang.
Tulisan kedua, membahas bagaimana kualitas pendidikan berkaitan dekat dengan motivasi orang yang bekerja di dunia pendidikan. Motivasi, dari kacamata ekonomi hanya akan muncul apabila ada persaingan. Oleh lantaran itu, kebijakan pendidikan harus merangsang munculnya kompetisi di dunia pendidikan. Langkah strategis dalam mewujudkan kompetisi yaitu kebijakan desentralisasi pendidikan. Desentralisasi, diduga akan dekat berkaitan dengan keberhasilan peningkatan mutu sekolah. Sebab, desentralisasi akan menjadikan dorongan dari sekolah sendiri untuk maju sebagai dampak dari kepercayaan yang mereka peroleh.
Sudah barang tentu, desentralisasi yang memperlihatkan otonomi lebih luas bagi sekolah diharapkan akan merubah pula kegiatan pada level kelas. Artinya, proses berguru mengajar juga harus berubah; paradigma gres mengajar harus dilahirkan, sebagaimana di bahas pada sub potongan 4. Perubahan pada level kelas bisa saja merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada level sekolah. Sub potongan 5, memmembahas bagaimana perubahan yang harus dikembangkan pada level sekolah.
Pada Bab 2 dibahas bagaimana pentingnya kiprah guru. Peran guru tidak bisa lepas dari karakteristik pekerja profesional. Artinya, pekerjaan guru akan sanggup dilakukan dengan baik dan benar apabila seseorang telah melewati suatu proses pendidikan yang dirancang untuk itu. Sebagai suatu pekerjaan profesional, sudah barang tentu kemampuan guru harus secara terus-menerus ditingkatkan. Meski andai kata tidakpun guru tetap akan sanggup melaksanakan kiprah memenuhi standar minimal. Pada potongan ini antara lain dibahas upaya peningkatan mutu guru dengan mendasarkan pada kemauan dan perjuangan para guru sendiri. Artinya, guru tidak harus didikte dan diberi banyak sekali isyarat dan instruksi. Yang penting yaitu perlu disusun standar profesional guru 'yang akan dijadikan teladan pengembangan mutu guru dan pembinaan guru diarahkan pada sosok guru pada masa globalisasi ini. Sosok guru ini penting lantaran guru merupakan salah satu bentuk soft profession bukannya hard profession seperti dokter atau insinyur. Sudah barang tentu pendidikan dan pembinaan guru akan berbeda dengan dokter atau insinyur. Karena hakekat kerja dua bentuk profesi tersebut berbeda. Bab 2 diakhiri dengan bahasan wacana tantangan guru pada masa globalisasi yang kita jelang. Berbagai perubahan akan terjadi baik teknologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Guru mustahil menisbikan adanya banyak sekali perubahan tersebut. Guru harus membuatkan langkah-langkah proaktif untuk menghadapi banyak sekali perubahan.
Bab 3 menyajikan bahasan untuk mencari pendidikan yang berwajah Indonesia. Dimulai dari pembahasan wacana suatu pernyataan hipotetis bahwa banyak sekali problem di masyarakat menyerupai pengangguran, tidak sanggup dilepaskan dari keberadaan sistem pendidikan yang tidak "pas" dengan budaya Indonesia. Untuk menemukan pendidikan yang berakar budaya bangsa perlu dilaksanakan penajaman penelitian pendidikan. Namun dalam mencari pendidikan yang berakar pada budaya bangsa tidak berarti bahwa pendidikan harus bersifat ekslusif. Hal ini bertentangan dengan realitas globalisasi. Oleh lantaran itu, pencarian pendidikan yang berakar pada budaya bangsa harus pula memahami globalisasi yang sanggup dikaji berdasarakan perspektif kurikuler dan perspektif reformasi. Bagaimana tantangan pendidikan yang harus dihadapi dimasa depan dibahas pula pada potongan ini. Tantangan yang fundamental yaitu bagaimana sanggup melaksanakan reformasi pendidikan yang pada karenanya sanggup mempengaruhi level kelas. Sejalan dengan upaya menemukan pendidikan yang berwajah Indonesia yang bermutu, kemampuan guru, kemauan guru dan kesejahteraan guru mutlak harus ditingkatkan. Upaya ini, jelas, bukan hal yang gampang tetapi sekaligus menantang. Sebab, guru di masa depan akan menghadapi persoalan-persoalan yang berbeda dengan di masa sekarang. Sosok guru di masa depan harus mulai dipikirkan. Pada prinsipnya kiprah guru yaitu mengimplementasikan kurikulum dalam level kelas. Kurikulum bagaikan paru-paru pendidikan, kalau baik paru-parunya baik pulalah tubuhnya. Dibahas pula wacana bagaimana seharusnya kurikulum dikembangkan. Dua landasan kurikulum yaitu apa kata hasil-hasil penelitian wacana otak dan apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dibahas permasalahan ketimpangan dalam ruang-ruang kelas yang berujud prestasi siswa. Memang, ketimpangan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari ketimpangan sosial ekonomi keluarga. Secara konkret pada level kelas harus dikembangkan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan tersebut. Cooperative Learning Model diharapkan akan sanggup mempersempit ketimpangan prestasi siswa. Prestasi siswa memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengajar guru semata. Kultur sekolah oleh banyak sekali penelitian dipastikan ikut memegang kiprah penting. Oleh lantaran itu, dalam potongan ini secara khusus dibahas masalah kultur sekolah dan bagaimana pembentukan serta kiprah kepala sekolah. Dan sudah barang tentu, kualitas pendidikan tidak hanya sanggup diartikan pencapaian prestasi akademik semata, untuk itu perlu dibahas wacana prestasi atau hasil pendidikan yang utuh. Buku ini diakhiri dengan bahasan wacana bagaimana reformasi pendidikan harus dilaksanakan.
0 Response to "Paradigma Pendidikan Era Depan"